Ini salah satu cerita creepypasta kiriman pembaca favorit gue, soalnya Dayak banget!!! Yaaaay akhirnya ada juga yang paham maksud gue pas gue bilang pengen bikin creepypasta khas Nusantara hahaha. Cerita ini dikirim oleh Nelsa Wini dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
KOYNALU
Angin malam yang mengigit terasa sangat dingin malam itu, sambil bergerak setengah merangkak aku mendekat ke api unggun di tengah-tengah kamp kami.
"Gila, dingin banget malamnya! Mana banyak nyamuk lagi!" eluh Rendra, teman satu kampusku
"Ye eluh ngeluh aja kerjaanya, yakin lo cowo?" Timpal Sari, salah satu wanita tangguh yang ikut rombongan kami...
Kami adalah mahasiswa pencinta alam, yang sedang dalam ekspedisi menelusuri hutan borneo yang kaya. Selain mengabadikan keindahan alam yang ada, kami juga mengawasi illegal logging atau perkebunan sawit yang ingin membuka lahan liar di hutan lindung ini.
Perjalanan kami kali ini sangat menyenangkan, selain berbagai pengalaman yang unik dan belum pernah kami rasakan, kami juga bertemu dengan beberapa penduduk asli setempat... Yang ternyata ramah dan menyenangkan, ah, suatu saat ingin rasanya aku berkunjung kembali...
Malam ini adalah malam terakhir kami, rombongan kami berjumlah 15 orang, yang mana semuanya merupakan mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. kami menjadi tertarik untuk menjelajahi hutan dikarenakan salah satu teman kami, Fadli, yang berasal dari Kalimantan memperlihatkan foto-fotonya saat berada di pedalaman hutan kalimantan.
Dalam perjalanan ini, kami dipandu oleh seorang guide lokal. Namanya Tanghi, fasih bahasa Dayak (Suku asli Kalimantan) dan juga Indonesia, beliau berperan menunjukkan jalan dan menjadi penerjemah bagi kami...
Sebelum memutuskan mendirikan tenda, kami sempat singgah di perkampungan penduduk... Namun anehnya setelah keluar dari perkampungan itu, Fadli terlihat ketakutan dan tangannya selalu mengenggam pisau lipatnya. Aku memang tidak tahu apa yang dibicarakan para penduduk itu, Namun dilihat dari mimik dan kelakuan Fadli, sepertinya bukan sesuatu yang baik. Apa ada binatang buas di hutan ini?
Sejenak aku melihat sekeliling, ah, itu dia, dengan bersandar pada sebuah pohon besar sambil tetap menggengam pisau lipatnya, Fadli terlihat tegang. Akupun mendekatinya perlahan dan-
"Bosan nih, ngga ada yang seru-seru apa?" celetuk Dina, gadis cantik yang bak tuan putri ini memang paling heboh sendiri. Yah walaupun semuanya maklum, secara dia cantik, hehehe...
"Gimana kalo cerita serem?" goda Rian, teman satu rombongan kami
"Tapi ngga seru kan kalo cerita yang sudah mainstream? Gimana kalo Pak Tanghi cerita legenda lokal?" balas Budi, teman kami juga
Seketika Fadli tersentak, genggamnya semakin erat dan bola matanya mendelik ketakutan, seolah siap melompat kapan saja...
"Baiklah kalau kalian tidak keberatan, namun Bapak peringatkan, cerita ini sangat mengerikan dan katanya benar-benar terjadi" Suara mengelegar Pak Tanghi yang khas membuat perhatian semuanya tertuju padanya...
"Alkisah, pada jaman dahulu. Dimana upacara tiwah dan tradisi mengayau masih dilakukan-"
"Tiwah? Mengayau?" potong Rendra
"Tiwah adalah upacara pemindahan tulang belulang sanak keluarga yang sudah meninggal. Makam lama digali kemudian tulangnya diangkat dan dibersihkan, kemudian dibuatkan sejenis rumah kecil yang bernama Sandung. Ini berkaitan dengan kepercayaan asli Kaharingan, agama nenek moyang suku Dayak. Namun untuk memdirikan tiang sandung, diperlukan kepala manusia sebagai pondasinya."
"Kepala... Manusia..." kata Dina terbata-bata...
Pak Tanghi berdiam sejenak, membuka botol air mineral bekas yang dibawanya, kemudian meneguk perlahan tuak, sejenis minuman keras suku dayak.
"Jadi, waktu itu, ada upacara tiwah yang akan dilangsungkan pada sebuah huma Betang, tempat tinggal orang dayak jaman dahulu. Para pemburu khusus bersenjatakan tombak dan Mandau (senjata asli suku dayak, ditempa dari batu gunung) ditugaskan untuk mencari orang yang akan dikayau atau dipenggal kepalanya..." Pak Tanghi memberi jeda sejenak, sebelum melanjutkan... "Singkat cerita, para pemburu inipun berhasil menemukan target mereka, seorang pria berperawakan tinggi besar. Merekapun menyerang pria itu, namun tak disangka, pria itu memberi perlawanan sengit. Satu-persatu pemburu itu tewas oleh mandau pria misterius itu.
"Kalian ingin membunuhku?" Hardik pria itu
Para pemburu itu memperhatikan sosok yang sedang marah itu, saat akhirnya mereka menyadari, pria itu salah satu Pangkalima, pahlawan perang suku Dayak
"Maafkan kami, kami tidak tahu kalau itu Pangkalima. Kami sedang mengadakan upacara Tiwah, makanya kami mencari kepala" sahut salah seorang pemburu
"Kepala ya? Bagaimana kalau memakai kepala kalian saja?" balas sang Pangkalima seraya memburu ke arah semua pemburu yang tersisa..."
Semua larut dalam keheningan, membayangkan cerita yang baru saja diceritakan oleh Pak Tanghi. Bagaimana kalau seandainya, tempat mereka bermalam ini, adalah medan perkelahian itu? Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri..
"Lalu? Ada yang selamat?" tanya Rian perlahan
Pak Tanghi menggeleng pelan, kemudian meneruskan " Semua pemburu itu habis dibantai sang Pangkalima, orang-orang Kampung yang menunggu para pemburu yang tak kunjung pulang pun mencari mereka, dan menemukan mayat mereka tercerai berai. Semua mayat itu tidak memiliki kepala, kecuali satu mayat, yang malah badannya raib. Mayat-mayat itupun dibawa pulang. Sesampainya di desa, para tetua berdiskusi. Dan mereka memutuskan untuk mengusut kasus ini. Sehingga dipanggilah seorang Datuk yang sakti.
Daruk itupun menyarankan untuk menghidupkan salah satu mayat itu untuk ditanyai, namun karena kondisi mayat yang tercerai-berai, tidak tahu tangan atau kaki punya siapa, disambungkanlah mayat-mayat itu, yang masih bagus kondisinya, menjadi satu..."
Beberapa peserta rombongan menegak ludah, cerita ini benar-benar menakutkan...
"Terakhir, mereka menyambungkan satu-satunya kepala yang ada, kepala seorang pemburu muda, kebadan yang sudah utuh tersebut. Sang Datuk kemudian meminumkan minyak
Bintang, minyak berkekuatan mistis dari suku dayak, kepada mayat itu... Perlahan luka-luka di mayat itu sembuh, kemudian matanya membuka dan mayat itu... Hidup"
Pak Tanghi menghidupkan rokoknya, dan kemudian meneruskan ceritanya...
"Para tetua pun mulai menanyai mayat itu, setelah mereka mengetahui pelakunya, merekapun memutuskan untuk merelakannya. Tidak mungkin mereka bisa menghadapi salah satu
Pangkalima. Mayat yang telah hidup itu kemudian dikurung, dan dijaga agar tidak lepas. Karena pengaruh minyak bintang, rasa dendam terhadap pembunuhnya semakin menjadi
hari demi hari, terlebih karena dia adalah kesatuan dari para pemburu yang telah tewas. Penduduk desa pun menjulukinya 'Koynalu', dikarenakan dia merupakan kesatuan dari mayat tanpa kepala, Koy naan ulu, atau tidak memiliki kepala"
"Lalu bagaimana nasibnya kemudian pak?" tanya Budi
"Setelah dikurung bertahun-tahun, suatu hari Koynalu berhasil kabur. Seluruh desa dikerahkan untuk mencarinya, namun hasilnya sia-sia. Beberapa orang mengatakan ia pergi
ke hutan untuk membalas dendam pada Pangkalima yang telah membunuhnya, dan selalu mencari korban untuk dikayau, karena dia selalu menganggap dirinya seorang pemburu, walau sudah bertahun-tahun berlalu."
"Fad, lu kenapa? Kelihatannya ketakutan banget?" tanyaku setelah mencapai tempatnya
"Dra, tadi di perkampungan sebelum ini, orang-orang membicarakan kita..." balas Fadli
"Soal?"
"Bahwa, kita tidak beruntung..."
"Lalu, cara kita mengetahui Koynalu ada di dekat kita bagaimana pak?" Tanya Sari
"Pertama, selain memiliki banyak bekas luka, dia selalu membawa mandau kemana-mana..."
"Seperti Pak Tanghi dong..." celetuk Rio temanku, membuat seluruh rombongan terbahak-bahak
"Iya, hehehe... Dan yang kedua, Panjang jari tangannya tidak rata, dikarenakan disusun dari beberapa mayat..."
"Seperti, Pak Tanghi lagi..." sahut Rio, pelan... Kali ini, seluruh rombongan terdiam...
Panjang jari Pak Tanghi memang tidak teratur, sebelumnya kukira hanya cacat fisik, namun sekarang...
"Ketiga dan Terakhir, Koynalu terdiri dari kumpulan mayat pemburu yang semuanya bertato. Namun karena motifnya yang beragam, tato-tato itu tidak terlihat menyatu dan terkesan tidak teratur... Seperti ini..." ujar Pak Tanghi seraya menunjukkan tato di lengan kirinya.
Seketika kami pun berlarian, dengan tenang Pak Tanghi menghunuskan mandaunya, kemudian dengan sedikit jampi-jampi, mandau itu pun terbang. Satu demi satu kepala teman rombongan kami terlepas dari tempatnya dan menggelinding di tanah. Suasana terasa sangat mencekam, semuanya berlari kesana-kemari, namun mandau itu terus mengejar dan menghabisi kami.
ZRUKKK, tiba-tiba Fadli menusuk kepala Pak Tanghi, darah segarpun mengucur deras. Kami mengira sudah selesai, namun..
ZRASSHHH, Tangan Pak Tanghi menembus perut Fadli, sial... Sepertinya dia tidak bisa dibunuh..
Pak Tanghi berjalan pelan kearahku, satu demi satu teriakan teman-temanku terdengar dari hutan. Kemudian sepi, suara teriakan mereka selesai...
"Sudah habis ya?" Kata Pak Tanghi santai... Mandau itupun kembali ketangannya, seutas senyum keji disunggingkannya dibibir, sebelum diayunkannya mandau dingin itu ke leherku...
--- 1 Bulan Kemudian ---
"Pak, disini!" seru seorang polisi muda
Para polisi dan tim SAR, juga tentara dan warga yang membantu pencarian menuju tempat yang ditunjukan polisi muda itu.
"Astaga..." gumam seorang warga, melihat gunungan mayat yang mulai membusuk dan bau yang menusuk hidung...
"Dimana, kepala mayat-mayat ini?" tanya Kepala TIM SAR...
--- Suatu tempat di dalam Hutan ---
"Ta Awe hanyu, Pangkalima... (Dimana kau, Pangkalima...)" gumam Koynalu sambil menyeret kepala-kepala itu, jauh masuk kedalam hutan...
THE END
WOW! Sejauh ini, inilah cerita favorit gue. Gue suka banget latar budaya Dayak-nya, belum lagi plot twistnya. Berasa mirip-mirip �Red Riding Hood� ya haha. Bayangin Koynalu yang merupakan potongan-potongan mayat yang dijadiin satu aja udah serem, apalagi ditambah ada ilustrasinya pegang kepala manusia. Creepy af dude! Origin Koynalu ini juga ngingetin gue ama novel �Zodiac Murder�. Definitely one of my favorite stories so far! Gue jadi kepengen mendalami urban legend pedalaman Kalimantan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar